Ketika seseorang membaca, terkadang pikirannya bisa terbawa ke angan-angan atau imajinasi seperti apa yang tertulis di dalam buku. Serasa mengalaminya sendiri. Dan akan bertambah beruntung jika yang dibaca adalah buku cerita atau novel yang banyak berisi petuah untuk penyemangat hidup. Dan buku negeri lima menara adalah salah satu buku yang masuk kategori tersebut. Penulis adalah Ahmad Fuadi, anak Minang yang mencoba berbagi cerita hidupnya di masa sekolah di Pondok Modern Gontor Ponorogo (yang kemudian disebutkan di novel sebagai Pondok Madani-PM). Novel setebal lebih dari 400 halaman ini diterbitkan oleh Gramedia, dan telah berulang kali cetak ulang. Penulis adalah lulusan Hubungan Internasional Unpad, dan lalu melanjutkan studinya di Washington University.
Novel yang menceritakan bagaimana lika-liku kehidupan penulis (diceritakan sebagai seseorang bernama Alif Fikri) dimulai semenjak lulus smp. Pergolakan setangah hati dengan Amak-nya (Ibu) akhirnya berujung pada sebuah keputusan untuk merantau ke tanah jawa, dengan masuk ke pondok. Dan di situlah semuanya dimulai. Penulis mencoba menceritakan dengan alur bolak-balik. Beberapa pesan yang ingin diangkat adalah bahwa kehidupan di pondok pesantren yang mungkin selama ini adalah pendidikan untuk kelas ”dua”, untuk anak yang kurang pintar dan seterusnya adalah tidak benar. Kehidupan pondok yang diceritakan penulis bukanlah seperti itu. Namun adalah kehidupan pondok yang disiplin, diwajibkan mahir dua bahasa yakni Arab dan Inggris, persahabatan dengan anak-anak dari se-anteroIndonesia, serta hal-hal lain yang memang diceritakan dengan kocak dan lucu. Sehingga tidak membuat pembaca bosan.
PMDG pada siang hari
|
Hal lain yang patut disimak di novel ini adalah penulis berhasil membuat suasana batin pembaca naik turun. Di sebuah bab, bisa menggambarkan semangat yang membara. Tetapi di lain bab bisa berbalik gundah gulana. Tapi itulah mungkin pesan atau kritik sosial bahwa kehidupan ini berulang seperti roda yang berputar. Seperti halnyaperadaban manusia di dunia.
Penulis tak lupa menyelipkan pesan untuk menjunjung tinggi apa itu makna keikhlasan. Satu kata yang sebetulnya sangat dalam maknanya. Dicontohkan dengan banyak hal di novel ini. Mulai dari ikhlas menjalani hukuman kedisiplinan di PM, keikhlasan menuruti apa kata orang tua, sampai keikhlasan ustad atau guru di PM yang katanya tidak digaji dalam bentuk rupiah seperti halnya guru pada umumnya.
5 menara. Mengapa diberi judul 5 menara? Itu mungkin juga berkaitan dengan persahabatan penulis dengan 5 sahabatnya. Said, Raja, Dulmajid, Baso dan Atang. Sewaktu di PM, 6 anak tersebut suka sekali berteduh dan bercengkrama di bawah menara masjid. Dan berangan-angan tentang mimpi-mimpi mereka kelak. Sehingga mendapat julukan Sahibul Menara, atau pemilik menara. Itu mungkin juga bisa diartikan selaras dengan penulis yang menggemari menara. Beberapa menara itu antara lain menara masjid di kampungnya sewaktu kecil, menara Gadang, Monas dan menara di Trafalgar Square.
Memang jika ada yang berkesan seolah novel ini mengekor ketenaran Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata karena ada satu alur kisah yang mirip, yakni cerita anak kampung yang bisa sampai kuliah di luar negri. Itu adalah sah-sah saja. Tapi kali ini dengan suasana cerita yang jauh berbeda. Dan tentunya tidak kalah menariknya
Tapi ada satu hal yang mungkin agak membuat kecewa pembaca. Yakni mengenai bagaimana kehidupan Alif Fikri selanjutnya. Selepas lulus PM, bagaimana dia bisa menyelesaikan ujian persamaaan SMA-nya, dan bagaimana dia bisa menjutkan kuliah di luar negri. Itu semua nampaknya akan terjawab di novel berikutnya. Karena novel ini adalah novel pertama dari sebuah trilogi. Dan konon kabarnya akan segera naik ke layar lebar.
Beberapa ”mantra” yang selalu menjadi penyemangat Alif Fikri dan kawan-kawannya, patut disimak ;
- Man shabara zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung. Jangan risaukan penderitaan hari ini, jalani saja dan lihatlah apa yang akan terjadi di depan.
- Ballighul anni walau aayah. Sampaikanlah sesuatu, walau hanya sepotong ayat.
- Kullukum ra’in wakullukum masulun an raiyatihi. Setiap orang adalah pemimpin, tidak peduli siapapun, paling tidak untuk diri sendiri.
- Saajtahidu fauqa mustawa al akhar. Berjuanglah dengan usaha di atas rata-rata yang dilakukn orang lain.
- Man jaddwa wa jadda. Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil.
Intip Syuting Film Negeri Lima Menara yuukkk,,,,
yaahh,,,, syuting nya pake mobil KUK
|
Selama 1 bulan penuh, selama bulan puasa, diadakan syuting film Negeri 5 Menara di Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Gontor adalah inspirasi dari Pondok Madani yang ada di novel. Penulis novel, Ahmad Fuadi memang pernah menuntut ilmu di Gontor pada tahun 1988-1992. "Bagi saya, pengalaman belajar di Gontor adalah salah satu pengalaman belajar paling inspiratif sepanjang hidup saya, " kata mantan wartawan Tempo yang pernah bertugas di Washington DC ini.
Kurang lebih 150 orang kru bekerja dengan ribuan figuran dari Gontor dan Ponorogo dari pagi sampai malam untuk menyelesaikan jadwal syuting. Salah satu alasan syuting selama puasa, karena ini adalah masa libur kebanyakan dari 4000 orang siswa. Walaupun begitu, selama libur masih ada hampir 1000 orang siswa kelas akhir dan ustad yang tinggal dan bertugas menjaga pondok.
Auditorium PMDG
|
Proses syuting film Negeri 5 Menara yang berlangsung 40 hari telah dilaksanakan di 4 tempat: Pondok Modern Gontor, Danau Maninjau Sumatera Barat, Bandung dan terakhir di London, Inggris. Saat ini sedang berlangsung proses editing dan pembuatan soundtrack. Kalau tidak aral melintang, film akan ditayangkan awal tahun 2012. Penasaran dengan filmnya? Silakan intip beberapa video proses syuting yang sudah dilakukan. Tinggal klik saja link ke youtube ini: http://www.youtube.com/user/FilmNegeri5Menara
.
Seperti di dalam novel, maka London dipilih sebagai lokasi syuting terakhir untuk memperlihatkan para anggota Sahibul Menara reuni di Trafalgar Square, London. Para pemeran Sahibul Menara dewasa seperti Aryo Wahab (Alif) dan Udjo (Atang) meneriakkan "man jadda wajada" dengan kencang ditengah keriuhan rafalgar Square yang berada ditengah jantung kota London, Inggris. Inilah syimbol impian yang bisa jadi nyata kalau dibela dengan sepirit man jadda wajada dan do'a yang terus menurus.
Yang terakhir adalah kata ajaib yang menjadi alur utama cerita di novel ini.
Ketika membaca novel ini, Saya merasa seakan-akan waktu berputar kembali, berputar kemasa 5 tahun yang silam,,, dimana waktu itu saya juga merasakan bagaimana kehidupan di pesantren, di pesantren yang sama dengan yang ada di novel ini
mahma kana ana aladdawam,,, tapi Gontor berdiri diatas dan untuk semua golongan,, (mathrud,aladdawam,mujiddin,mangkul,mafsul wa ashabuhu juga boleh menjadi IKPM)
I always miss the atmosphere of Gontor,,, kangen sama qismu ri'ayah yang yahanu sadid, salatoh rohah yang bikin mabtun, kangen sama suara pengumuman dari قسم الإعلام (bagian informasi) yang selalu ku dengar di masjid setelah shalat maghrib yang membuat jantung berdetak keras ketika nama ku disebut untuk datang ke bagian keamanan. dan membuatku tersenyum ceria ketika ada panggilan dari ADM ntuk menerima wesel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar